Senin, 27 April 2009

Pendidikan, Akar Liberalisme

Wakil Ketua Komisi Hubungan Antar Agama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Adian Husaini mengatakan bahwa saat ini pendidikan telah menjadi basis gerakan liberalisme. Hal itu dikemukakan Adian ketika menjadi pemateri pada acara Pengajian Keluarga Islami (PAKIS) IV di Mushollah Baabul Jannah, Sektor Puri Insani I Blok E- Grand Depok City, Ahad pagi (19/04), kemarin.

Menurut Adian, pendidikan menjadi basis kaum liberal untuk terus menyebarkan paham mereka kepada kaum terdidik. Usaha mereka tidak main main. Sponsor mereka besar dan banyak. Gerakan mereka, oleh Adian, disebut sebagai “The Liberalization of Language”.

“Di dunia pendidikan ini, mereka kemudian melakukan distorsi pemikiran dan ajaran Islam” pungkasnya.


“Yang dianggap berprestasi dan cerdas di sekolahkan ke universitas universiras terkenal di Eropa, targetnya agar ada estafeta pejuang pemikiran liberal ini” lanjut Dosen Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun pada acara pengajian dengan Tema: "Membongkar Kedok Gerakan Liberalisasi Islam di Indonesia" tersebut.

Kaum Islam Liberal juga cenderung memaksakan penamaan dan pemberian label yang membuat wajah Islam ini kejam dan serampangan. Padahal, tegas Adian, dalam Islam tidak ada istilah yang semisal Islam Moderat, Islam Fundamental, Islam Militan, Islam Puritan, dan julukan julukan yang lain.

Islam hanya satu, yakni Islam yang mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah. Label dan pencitraan yang dilekatkan pada Islam itu pun kemudian berdampak besar pada Ummat Islam.

“Ribuan Ummat Islam yang tewas di Afganistan tapi tidak ada yang memprotes, hanya karena mereka telah dicap sebagai Islam Militan oleh media. Militan konotasinya lebih mengarah kepada tindak terorisme, sehingga kita pun telah menganggap mereka sebagai teroris. Kita telah terjebak dalam distorsi yang dibangun oleh media yang memang pro liberal” tutur Adian yang baru saja meraih gelar doktornya dibidang Peradaban Islam dengan predikat very good di International Institute of Islamic thought and Civilization-International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) dengan disertasi berjudul: Exclusivism and Evengelisme in The Second Vatican Council: A Critical Reading of The Second Vatican Councils Documents in The Light Of The Ad Gentes And The Nostra Aetate.

“Kaum Islam Liberal dan pengikutnya telah membangun kekuatan dan serangan baru yang disebut dengan istilah The Liberalization of Language, liberalisasi melalui bahasa. Bahasa komunikasi mereka lewat media yang halus terkadang tak terasa telah mengantarkan Ummat Islam berpola pikir liberal” lanjutnya.

Senada dengan Adian. Asep Syamsul M. Romli, S.IP dalam bukunya Demonologi Islam, Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam (GIP, 2000), menjelaskan bahwa demonologi Islam adalah penggambaran atau pencitraan Islam sebagai demon (setan, iblis, atau hantu) yang jahat (evil) dan kejam (cruel). Ia juga bisa berarti perekayasaan sistematis untuk menempatkan Islam dan umatnya agar dipandang sebagai ancaman yang sangat menakutkan.

Proses demonologi berlangsung melalui pencitraan negatif tentang Islam dan para pejuangnya, melalui penjulukan-penjulukan terorisme, fundamentalisme yang dipopulerkan media massa.

Noam Chomsky, ahli linguistik terkemuka AS mengungkapkan, pemburukan citra Islam adalah bagian dari upaya Barat, khususnya negara adikuasa Amerika Serikat menata dunia menurut kepentingan mereka dan lagi lagi tentu dengan lobby sabahat dekatnya, Yahudi.

Bukti “Kemesraan” Amerika – Islam Liberal
Fatih Syuhud, Sarjana Ilmu Politik, Agra University, India, dalam tulisannya ”Amerika dan Islam Liberal” yang dimuat Harian Pelita Jakarta, 11 Juli 2005, melansir sebuah dokumen setebal 525 halaman yang dirilis oleh think tank neo-konservatif AS yang sangat berpengaruh dan banyak mendukung kebijakan gedung putih, RAND Corporation, yang disiapkan khusus untuk angkatan udara (AU) AS.

Dokumen yang berjudul: Muslim World After 9/11, itu menggarisbawahi strategi AS yang akan mengurangi kondisi yang dapat menciptakan ekstremisme politik dan agama dan sikap anti-AS di kalangan komunitas Muslim dunia. Didalam dokumen ini menganjurkan AS agar menciptakan dan mendukung jaringan Islam liberal yang terdiri dari Muslim moderat internasional yang nantinya dapat menantang legitimasi klaim kalangan Islamis radikal untuk berbicara atas nama Islam, dan menawarkan sebuah pemahaman agama yang liberal.

Lanjut Syuhud, Dokumen ini mengingatkan bahwa kelompok Islam liberal mungkin kekurangan sumber dana yang diperlukan untuk membentuk jaringan besar dan karena itu meminta AS untuk mendanai berbagai aktivitas kalangan ini.

Tentu saja kalangan Islam liberal yang hendak dibantu tersebut diharapkan untuk memfokuskan kritik mereka pada kalangan Islamis radikal, dan mungkin, diminta untuk tetap diam manis dalam berbagai kesalahan kebijakan luar negeri AS, atau kehilangan bantuan dana sebagai taruhannya.

Oleh karena itu, apa yang harus dilakukan AS adalah mencari jalan untuk menetralisir kalangan ekstremis dengan bantuan Muslim moderat, tanpa perlu membuat perubahan struktrual apapun dalam segi kebijakan ekonomi, politik dan strategi.

Dengan menganggap problema ekstremisme sebagai murni diciptakan oleh Islamis jahat, tulis Syuhud, maka dokumen ini hanya terfokus pada isu ekstremisme atas nama Islam sementara tak satupun menyebut ekstremisme lain yang tidak kecil yang dilakukan oleh fundamentalis Yahudi dan Kristen. Laporan ini juga tidak menyebut sama sekali dukungan Amerika atas Islamis radikal pada masa lalu (seperti di Afghanistan untuk melawan Soviet) atau atas kelompok Muslim konservatif dalam upaya mengalahkan pengaruh kalangan kiri, nasionalis dan anti-imperialis. [Ainuddin]



Sumber : http://www.hidayatullah.or.id

0 komentar: