Senin, 27 April 2009

Adil dalam Pemikiran

Oleh: Ahmad Dimyati

Kata adil yang diambil dari bahasa Arab ‘adl,.Dilihat dari akar kata bahasa Arabnya kata ini mempunyai banyak makna yang berbeda-beda. Ia disebut seimbang (sawiyyah: equity) diantara dua pihak. Seimbang di sini tidak selalu sama antara dua pihak tersebut secara kuantitatif, tapi lebih kepada proporsional dan profesional yang menyebabkan perlakuan adil, keadilan (al’adalah: Justice), terhadap pihak-pihak yang terlibat dan tidak hanya pada satu ketika saja, tapi di setiap waktu selalu berbuat lurus dan jujur, yakni makna lain dari kata itu adalah ‘kelurusan dan kejujuran’(istiqamah: rectitude). Dalam perilaku adil yang diistiqamahkan itu menampakkan suatu kesederhanaan, kewajaran, dan tidak berlebihan (al-qasd fi al-umur dan al-tawassuth), sehingga orang adil itu disebut juga bijaksana (hakim) yang diambil dari hikmah (wisdom).


Bahkan Allah Swt menyebut orang adil dengan dzawai adl, yakni bisa diartikan dengan yang punya akal, dzawai aql, karena seorang tidak akan disebut bijak jika tidak punya akal, dan akal itu juga tidak saja bermakna rasio sebagaimana konsepsi orang Barat, tapi intellect yang mempersepsikan manusia yang utuh, yang tidak sekedar fisik material tapi juga mental (jasad dan ruh).

Dari konsepsi linguistik di atas, maka wajar apabila keadilan yang bertalian dengan kebijaksanaan itu kemudian dirumuskan oleh para ulama dahulu dengan definisi a harmonious condition of things in their right and proper places (wadhâu syai in fi mahallihi). Kalau dalam bahasa kita disebut dengan menempatkan sesuatu sesuai tempat yang betul dan tepat.

Al-Jurjani dalam al-Ta’rifat-nya menyebutkan bahwa adil itu suatu kondisi di antara ifrat dan tafrit. Bagi ulama fikih, menurutnya juga, ia bermakna menjauhi diri dari dosa-dosa besar; tidak selalu melakukan dosa-dosa kecil; perbuatan yang kebanyakannya benar; meninggalkan perbuatan-perbuatan murahan, seperti kencing dan makan di jalan. Bahkan secara syariat ia merupakan kondisi istiqamah pada yang benar (haq) dengan meninggalkan segala sesuatu yang dibenci agama (syariat).

Ada beberapa penggunaan adl dalam Al-Quran yang bisa juga menjadi acuan makna. Menurut Sa’id bin Jubair untuk merespon apa yang ditulis Abd. Malik, mengatakan ada empat penggunaan makna dalam Al-Quran, yakni adil dalam hukum, adil dalam perkataan, adil berupa fidyah, dan adil bermakna musyrik (tsumma allazina birabbihim yaâdilun).

Yang perlu penulis garis bawahi di sini adalah adil dalam perkataan. Perkataan atau dalam bahasa dikenal dengan qaul adalah kemampuan berucap pada manusia yang dianugerahi Allah swt sebagai forma eksistensi makhluk-Nya yang terbaik (ahsan taqwim). Ia juga mengonsepsikan dzu nuthq, suatu kemampuan dan kekuatan manusia untuk memformulasikan makna dari database ‘aql pada dirinya menjadi kata-kata. Karena adanya kemampuan itulah kemudian manusia disebut ‘aqil. Sebagai akar kata dari akal, kata Arabnya aqala mempunyai makna ikatan (binding atau witholding), yang dalam konteks ini, dalam diri manusia terdapat mekanisme pengikat pengetahuan manusia yang dikenal dengan kata qawl (word). Sehingga kemampuan dan kekuatan berkata-kata itulah yang menyebabkan manusia pantas kalau seandainya ia digelari dengan ‘aqil, ‘adil, hakim, ‘abid, ‘alim, dan lain sebagainya.

Makna keadilan dalam Islam adalah beristiqamah di jalan yang haq, dus, maka fungsi akal manusia untuk mengenali dan mangakui yang benar itu ketika lahir di dunia ini dan selalu beristiqamah di jalannya. Orang yang mengenali lalu mengakui kebenaran itulah yang kemudian dikatakan adil. Yakni ia mampu menempatkan dirinya sesuai dengan yang pernah dijanjikan dan disepakati oleh manusia sebelum eksis di dunia (pre-existence). Maka konsep manusia (Arab: al-insan, English: man) menurut perspektif Islam, yang adil, berpikir bijak, menjadi penting dipahami sejak ia sebelum lahir ke dunia hingga eksis saat ini. Mengapa? Karena jika tidak demikian, lalu manusia hanya dipahami sebagai hasil dari proses evolusi sejarah, mengikuti konsepsi progres, development dan evolution-nya Barat, maka manusia hanya sekedar fisik yang hanya mengikuti perkembangan zaman saja, tanpa mengetahui dan mencoba mengerti bahwa ada the Great designer yang mengcreat dirinya dan alam sekitarnya. Akibatnya, terjadilah pemahaman manusia yang simplistis materialistis yang pada saat ini mengideologi sebagai cara pandang hidup (world view) dan menjadi tren masyarakat kontemporer.

Manusia dan Keadilan

Spesies manusia yang dikenal dengan al-insan, al-nas, al-ins berulang kali disebutkan dalam Al-Quran, yang masing-masing 65 kali, 240 kali dan 18 kali dengan berbagai varian konteks dan makna yang dipancarkan dari kata itu.

Kalau dirujuk ke akarnya, kata ini berasal dari nasiya, yansa (melupakan). Memang manusia punya karakter pelupa di setiap waktu dan tempat. Manusia pun suka melupakan janji yang diucapkannya sebelum ia lahir di depan Allah swt. Ini mengilustrasikan bahwa penciptaan manusia itu mengalami dua tahap. Tahap pertama adalah tahap ghaib dan tahap kedua tahap biologis. Tahap pertama hanya diketahui manusia melalui pesan-pesan wahyu dan yang kemudian dipahami manusia melalui pengalaman dan juga ilmu sains.

Tahap pertama adalah tahapan azali, yang prosesnya secara berkala diceritakan dalam Al-Quran dari pada tiada menjadi ada (ex nihilo); dari tin, turath, salsal dan hamai masnun. Allah Swt sendiri yang meniupkan ruh kepadanya. Itulah insan yang dicipta sebaik-baik rupa oleh Allah dan paling dimuliakan. Pada tahap ini para malaikat diperintahkan sujud kepada yang namanya Adam. Kemudian tahap kedua adalah tahap biologis bagaimana manusia dilahirkan oleh pasangan suami dan istri. Pada tahap ini kejadian manusia memang bisa dipelajari secara biologis mengikut kejadiannya yang juga biologis. Pengetahuan tentang yang kemudian ini tidak perlu wahyu dari Allah, cukup observasi dan eksperimen saja, walaupun wahyu juga telah menyebutkannya secara global. Namun pengetahuan yang pertama tidak bisa disentuh dengan eksperimental saintifik, tapi melalui khabar shadiq yang telah Allah sampaikan kepada nabi-Nya.

Setelah manusia dikonsepsikan tidak saja sebagai aspek fisik tapi juga non-fisik dengan segala tugas-tugas dan hak-haknya, sebagaimana sejarah penciptaannya di atas, maka dalam konteks keadilan yang kita diskusikan dalam paper ini akan menemukan sinkronisasi dengan barometer keadilan yang bisa kita rumuskan, mengikuti konsepsi keadilan di atas, dengan beberapa barometer yang umum dipakai dalam tradisi Islam, sebagaimana berikut: pertama, menempatkan sesuatu pada tempat yang sesuai, tepat dan benar; kedua, mencari atau mengenali dan mengakui kebenaran (al-Haq); ketiga, beristiqmah dalam kebenaran tersebut.

Lawan kata dari adil, sebagaimana dipahami pada umunya, adalah zalim (dzalim), yakni menempatkan sesuatu dilain tempatnya, tidak mau tahu dengan yang hak dan sikapnya mencla-mencle atau plin-plan. Dengan demikian, orang zalim adalah orang yang tidak adil; selalu berbuat kesewenang-wenangan (al-jauru) dan melanggar batas-batas kebenaran (mujawazat al-had). Dalam kondisi ekstremnya, pelaku kezaliman ini disinyalir oleh Al-Quran sebagai pencampur aduk keimanan dengan kezaliman (ilbas al-iman bi zulmin). Kezaliman dimaksud adalah kesyirikan, sebagaimana disebut dalam tafsirnya. Bahkan Allah Swt menyebut Syirik itu sebagai kezaliman yang luar biasa (zulmun adzim). Itulah zalim yang juga mempunyai arti menyimpang dari tujuan semula. Bahasa kontemporernya missorientation, hilang halatuju. Atau bahasa jawanya tak jelas juntrungan.

Adil dalam Menyikapi Suatu Produk Pemikiran

Setiap hasil dari suatu pemikiran, dalam konteks yang global, pasti ia mempunyai tradisi, kultur, cara-cara khas yang dimiliki persekitaran dan lingkungan di mana produk pemikiran itu muncul. Jika dikaitkan dengan suatu peradaban manusia yang juga mempunyai produk-produk pemikiran, maka di sanalah terdapat cara pandang dan mekanisme kerja berpikirnya masing-masing yang kadang ada persamaan, perbedaan dan tarik menarik antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, produk pemikiran adalah hasil worldview masing-masing peradaban dengan keunikannya masing-masing.

Sebagai contoh yang cukup representatif penulis kemukakan pemikiran Islam dan Barat. Keduanya mempunyai cara pandangnya yang berbeda; keduanya menghasilkan peradaban yang sama-sama mepengaruhi dunia saat ini. Kadang juga antara keduanya saling meminjam istilah dan adopsi serta adaptasi konsep-konsepnya. Bahkan keduanya mempunyai mekanisme yang canggih sendiri-sendiri.

Untuk berbuat adil terhadap produk pemikiran, Islam dan Barat, perlu dan sebaiknya memahami keduanya sebagai suatu peradaban. Sedangkan matrik ukur setiap peradaban adalah world view, cara pandang terhadap segala sesuatu, agama atau kepercayaan. Dalam world view itu ada konsep-konsep penting yang membentuk sebuah framework berpikir yang tidak sama antar satu peradaban dengan yang lainnya. Dan Islam secara diametral bertentangan dengan world view Barat Liberal. Oleh karenanya, memahami identitas Islam dan Barat menjadi lebih kompleks dan komprehensif apabila dipahami dalam konteksnya masing-masing dan di sanalah kita meletakkan konsep-konsep dalam world view keduanya secara berhadapan-hadapan. Setelah itu baru kita menganalisisnya secara adil, cerdas dan bertanggungjawab.

Ada beberapa elemen pandangan hidup yang penting untuk dianalisis di setiap peradaban dan elemen-elemen itulah kemudian yang mempengaruhi cabang pemikiran dibawahnya (sub-issues). Para cendekiawan memang tidak sama dalam merumuskan apa saja elemen-elemen itu, namun walaupun elemen-elemen itu berbeda tapi berdekatan dan bisa dirumuskan. Thomas Wall, Niniam Smart, Naquib Al-Attas, ketiganya mempunyai rumusan yang berbeda-beda mengenai elemen world view tersebut. Namun dari ketiganya, kalau diidentifikasi lebih jauh, mempunyai kesamaan dalam 5 elemen penting pandangan hidup setiap peradaban. Lima elemen penting tersebut meliputi’ konsep Tuhan, konsep realitas, konsep ilmu, konsep etika atau nilai dan kebajikan, dan konsep tentang diri manusia.

Dari elemen penting pandangan hidup di atas, penulis ingin mengangkat salah satu saja yaitu konsep ilmunya. Ini penting untuk dikemukakan karena selama ini konsep tentang ilmu ini telah bercampur aduk dan sering secara tidak adil dipahami dan diterapkan dalam dunia praktis secara saling bertukar tempat. Konsep ilmu yang dimaksud di sini adalah apa yang di Barat dikenal dengan epistemologi. Namun karena epistemologi pembahasannya terlalu luas dan kompleks, maka penulis ingin melihat sains kontemporer sebagai produk suatu epistemologi dari sebuah peradaban sebagai contohnya.

Sains dan Ketidakadilan

Salah kasus bentuk ketidakadilan adalah menempatkan sains dalam ilmpu pengetahuan. Sains (science) yang diambil dari bahasa Latin scio, scire, scientia, adalah bermakna; mengetahui, pengetahuan tentang apapun oleh siapapun dengan cara apapun. Itulah makna awal dari sains tersebut. Manusia sebagai subyeknya tidak terbatas kepada ras, agama, geografi tertentu. Obyek sains juga tidak terbatas kepada entitas tententu, apa saja yang bisa diketahui manusia. Begitu juga cara mengetahuinya, tak dibatasi oleh suatu metode tertentu, yang rigit dan mengikat. Itu pada asal mulanya. Namun pada perkembangan selanjutnya, sedikit demi sedikit, ia tereduksi oleh sejarah dan para pelaku sejarahnya. Meminjam istilah Dr. Syamsuddin Arif Sains, telah mengalami pengerucutan maknawi (semantic reduction). Makanya pada saat ini, sains itu hanyalah pengetahuan manusia yang terbatas pada pengetahuan manusiawi mengenai alam jasmani dan alam nyata secara empiris, induktif dan kuantitatif. Sehingga pengetahuan selain fisika, biologi, kimia, dan cabang-cabangnya (astrofisika, geofisika, thermofisika, dsb), selain itu semua maka tidak dianggap sains.

Mungkin kita akan bertanya siapa yang membuat pengertian sains menjadi sempit? Maka jawabannya bisa kita telusuri dalam sejarah panjang Barat dari saat melepaskan diri dari hegemoni kegelapan (dark age) menuju era baru, modern, kemudian enlightenment hingga lahirnya empirisme logik melalui Vienna Circle di Vienna, Austria sekarang.

Hasil identifikasi dan pengamatan mendalam terhadap sains di Barat, Naquib al-Attas menyebutkan beberapa karakteristik mendasarnya: sains dianggap satu-satunya ilmu pengetahuan yang otentik dan hanya terkait dengan fenomena; konsep kebenaran sains, oleh karenanya, bisa berubah sewaktu waktu mengikuti perubahan masa dan tempat; kebenaran teredusir hanya kepada yang inderawi saja; epistemologi sains cenderung mengabaikan otoritas dan intuisi serta menolak wahyu dan agama sebgai sumber-sumber ilmu pengetahuan yang benar, sehingga otoritas dibatasi semata-mata kepada akal dan pengalaman; visi tentang realitas dalam sains telah dibangun menurut perspektif rasonalisme dan empirisme yang mengakibatkan pemahaman alam hanya terbatas pada dunia saja, dan merupakan konsekuensi logis dari sumber-sumber ilmu yang dibatasi kepada panca indera dan kemampuan kognitif; sains bebas nilai (value free), karena sains di Barat seakan lepas begitu saja dari kajian tentang pelaku sains (manusia). Science for Science; dan mengangkat keraguan (doubt) menjadi sebuah metode.

Semua karakteristik tersebut merupakan buah dari worldview Barat yang berprinsipkan dikotomi; berasaskan rasio dan spekulasi filosofis; sifatnya rasional, terbuka dan selalu berubah; dalam memaknai realitas berdasarkan pandangan sosial, kultural, empiris; obyektif kajiannya adalah tata nilai masyarakat. Sementara itu, Islam berdasarkan worldviewnya berprinsipkan tauhid; berasaskan wahyu, hadith, akal, pengalaman dan intuisi; sifatnya otentisitas dan finalitas; ketika memaknai realitas ia berdasarkan kajian metafisis; dan obyek kajiannya visible dan invisible.

Sayangnya, tren masa kini, termasuk yang berlaku di kalangan intelekual sekarang, menjadikan cara pandang sains kontemporer itu sebagai ideologi, sebagai cara terpenting dan utama dalam mengatasi semua perkara hidupnya. Bahkan, tren itu diterapkan pula dalam memahami agama, utamanya Islam, mengikuti upaya-upaya yang telah lama dikembangkan oleh para orientalis Barat. Akibatnya, terjadilah penempatan cara pandang tidak pada tempat yang benar dan tepat. Islam tidak pernah memiliki konsep yang dikotomis, namun ternyata di saat sekarang pemikir-pemikir muda Islam meyakini ada dikotomistik dalam pemikiran Islam. Seperti Islam didikotomikan dengan negara, dengan sains, dengan budaya dan sosial, tanpa ada premis-premis penjelasan yang ilmiah; Islam tidak pernah mempunyai konsepsi bebas nilai, tapi sekarang bebas nilai itu telah diterapkan dalam Islam, seperti anggapan bahwa ilmu itu bebas nilai, padahal di semua kehidupan tak ada yang bebas nilai. Kalau misalkan Vienna Circle telah mematok bahwa sains itu bebas nilai, sebenarnya cap yang distempelkan kepada sains oleh mereka itu adalah juga termasuk nilai. Sehingga pertanyaannya adalah, apa yang bebas nilai di dunia ini?; Hermeneutik, yang merupakan cara interpretasi teks di Barat, adalah cara Barat memahami teks yang memang tidak ada lagi teks yang orisinil, sehingga diperlukan metode interpretasi yang bisa meraba-raba apa disebalik teks yang tidak lagi asli itu. Namun demikian, hasil dari penafsiran hermeneutik itu juga semu, tidak jelas, kebenarannya sama-samar, bahkan menipu. Namun sayangnya metode ini secara tidak ada pertimbangan yang waspada dan hati-hati telah ramai dikalangan pemuda Islam yang berani menggunakannya. Padahal metode tafsir dan taâwil yang sedia ada dalam tradisi Islam, yang mungkin mereka tidak menarik lagi mempelajarinya, tidak lagi memakai dan menerapkannya dalam memahami teks Islam. Padahal juga, teks dalam Islam itu tidak mempunyai problem-problem seperti pengalaman Barat; Di dalam Islam ada konsep qathâi dan ada zanni, ada yang Tsubut ada yang mutaghayyirat. Namun di masa-masa sekarang, tanpa banyak mempertimbangkan dan mempelajarai tradisi Islam yang sebenarnya, para pelajar muda Islam telah menggunakan pradigma Barat yang berakar pada konsep progress, development, dan evolution, secara menyeluruh, tanpa terkecuali, termasuk dalam pemikiran, akidah, keislaman, keimanan, tata nilai, kejadian manusia, dan lain sebagainya. Akibatnya banyak konsep-konsep pentimng dalam Islam telah dianggap kesempurnaanya dan keotentikannya mengikuti perkembangan alam. Ketika alam ini berubah, maka Islam dan segala pirantinya juga berubah. Nah, itulah beberapa contoh kecil salah penempatan konsep-konsep yang tidak adil.

Epilog

Terma adil dalam Islam sangat signifikan karena ia akan berkait dengan konsep-konsep penting lainnya dalam Islam. Ia erat kaitannya dengan definisi Islam itu sendiri, iman, ihsan, manusia, alam, Tuhan, dan lain sebagainya. Dengan demikian membahas adil tidak saja membahas dirinya tapi juga yang terkait dengannya. Itu menunjukkan adanya kesinambungan dan kesatuan antara satu konsep dengan konsep-konsep yang lain (baca: paradigma tauhidi).

Adil dengan makna yang komprehensif akan mengantarkan manusia kepada kebijaksanaan, komitmen, sinergi, evaluatif dan kritis terhadap ketidakadilan. Dengan demikian, afirmasi terhadap kebenaran dari Allah Swt memang tidak bisa dielakkan lagi dan negasi terhadap larangan-Nya juga menjadi sesuatu yang mendesak. Namun, karena seorang yang adil dalam pemikiran itu adalah seorang yang bijaksana, maka ia akan bijaksana juga dalam mengafirmasi dan menegasikan suatu produk pemikiran. Dengan kata lain, sebagai proses epistemis yang mendalam, perenungan atas produk itu niscaya dilakukan dan tidak serta merta menjustifikasi tanpa dasar-dasar kokoh dan mendalam.

Menyikapi suatu produk pemikiran akan dikatakan adil apabila kita dapat menganalisa terlebih dahulu pemikiran tersebut dan menempatkannya sesuai tempat yang benar dan betul. Jika ia merupakan produk pemikiran, katakanlah dari Barat sebagai contohnya, maka perlu dipahami dahulu secara mendalam produk pemikran itu dan disikapi dengan semestinya.

Sains dengan segala cara pandangnya akan sah apabila dipahami menurut kondisi dan situasinya sendiri dan belum tentu pas dengan kondisi dan situasi di tempat lain. Oleh karena itu akan bias apabila cara pandang sains kontemporer tiba-tiba diterapkan kepada Islam tanpa pertimbangan dan analisa mendalam sebelumnya[www.hidayatullah.com].

Penulis peneliti INSIST, sedang melanjutkan studi di Malaysia
sumber : www.hidayatullah.com

Selengkapnya »»

Pendidikan, Akar Liberalisme

Wakil Ketua Komisi Hubungan Antar Agama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Adian Husaini mengatakan bahwa saat ini pendidikan telah menjadi basis gerakan liberalisme. Hal itu dikemukakan Adian ketika menjadi pemateri pada acara Pengajian Keluarga Islami (PAKIS) IV di Mushollah Baabul Jannah, Sektor Puri Insani I Blok E- Grand Depok City, Ahad pagi (19/04), kemarin.

Menurut Adian, pendidikan menjadi basis kaum liberal untuk terus menyebarkan paham mereka kepada kaum terdidik. Usaha mereka tidak main main. Sponsor mereka besar dan banyak. Gerakan mereka, oleh Adian, disebut sebagai “The Liberalization of Language”.

“Di dunia pendidikan ini, mereka kemudian melakukan distorsi pemikiran dan ajaran Islam” pungkasnya.


“Yang dianggap berprestasi dan cerdas di sekolahkan ke universitas universiras terkenal di Eropa, targetnya agar ada estafeta pejuang pemikiran liberal ini” lanjut Dosen Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun pada acara pengajian dengan Tema: "Membongkar Kedok Gerakan Liberalisasi Islam di Indonesia" tersebut.

Kaum Islam Liberal juga cenderung memaksakan penamaan dan pemberian label yang membuat wajah Islam ini kejam dan serampangan. Padahal, tegas Adian, dalam Islam tidak ada istilah yang semisal Islam Moderat, Islam Fundamental, Islam Militan, Islam Puritan, dan julukan julukan yang lain.

Islam hanya satu, yakni Islam yang mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah. Label dan pencitraan yang dilekatkan pada Islam itu pun kemudian berdampak besar pada Ummat Islam.

“Ribuan Ummat Islam yang tewas di Afganistan tapi tidak ada yang memprotes, hanya karena mereka telah dicap sebagai Islam Militan oleh media. Militan konotasinya lebih mengarah kepada tindak terorisme, sehingga kita pun telah menganggap mereka sebagai teroris. Kita telah terjebak dalam distorsi yang dibangun oleh media yang memang pro liberal” tutur Adian yang baru saja meraih gelar doktornya dibidang Peradaban Islam dengan predikat very good di International Institute of Islamic thought and Civilization-International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) dengan disertasi berjudul: Exclusivism and Evengelisme in The Second Vatican Council: A Critical Reading of The Second Vatican Councils Documents in The Light Of The Ad Gentes And The Nostra Aetate.

“Kaum Islam Liberal dan pengikutnya telah membangun kekuatan dan serangan baru yang disebut dengan istilah The Liberalization of Language, liberalisasi melalui bahasa. Bahasa komunikasi mereka lewat media yang halus terkadang tak terasa telah mengantarkan Ummat Islam berpola pikir liberal” lanjutnya.

Senada dengan Adian. Asep Syamsul M. Romli, S.IP dalam bukunya Demonologi Islam, Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam (GIP, 2000), menjelaskan bahwa demonologi Islam adalah penggambaran atau pencitraan Islam sebagai demon (setan, iblis, atau hantu) yang jahat (evil) dan kejam (cruel). Ia juga bisa berarti perekayasaan sistematis untuk menempatkan Islam dan umatnya agar dipandang sebagai ancaman yang sangat menakutkan.

Proses demonologi berlangsung melalui pencitraan negatif tentang Islam dan para pejuangnya, melalui penjulukan-penjulukan terorisme, fundamentalisme yang dipopulerkan media massa.

Noam Chomsky, ahli linguistik terkemuka AS mengungkapkan, pemburukan citra Islam adalah bagian dari upaya Barat, khususnya negara adikuasa Amerika Serikat menata dunia menurut kepentingan mereka dan lagi lagi tentu dengan lobby sabahat dekatnya, Yahudi.

Bukti “Kemesraan” Amerika – Islam Liberal
Fatih Syuhud, Sarjana Ilmu Politik, Agra University, India, dalam tulisannya ”Amerika dan Islam Liberal” yang dimuat Harian Pelita Jakarta, 11 Juli 2005, melansir sebuah dokumen setebal 525 halaman yang dirilis oleh think tank neo-konservatif AS yang sangat berpengaruh dan banyak mendukung kebijakan gedung putih, RAND Corporation, yang disiapkan khusus untuk angkatan udara (AU) AS.

Dokumen yang berjudul: Muslim World After 9/11, itu menggarisbawahi strategi AS yang akan mengurangi kondisi yang dapat menciptakan ekstremisme politik dan agama dan sikap anti-AS di kalangan komunitas Muslim dunia. Didalam dokumen ini menganjurkan AS agar menciptakan dan mendukung jaringan Islam liberal yang terdiri dari Muslim moderat internasional yang nantinya dapat menantang legitimasi klaim kalangan Islamis radikal untuk berbicara atas nama Islam, dan menawarkan sebuah pemahaman agama yang liberal.

Lanjut Syuhud, Dokumen ini mengingatkan bahwa kelompok Islam liberal mungkin kekurangan sumber dana yang diperlukan untuk membentuk jaringan besar dan karena itu meminta AS untuk mendanai berbagai aktivitas kalangan ini.

Tentu saja kalangan Islam liberal yang hendak dibantu tersebut diharapkan untuk memfokuskan kritik mereka pada kalangan Islamis radikal, dan mungkin, diminta untuk tetap diam manis dalam berbagai kesalahan kebijakan luar negeri AS, atau kehilangan bantuan dana sebagai taruhannya.

Oleh karena itu, apa yang harus dilakukan AS adalah mencari jalan untuk menetralisir kalangan ekstremis dengan bantuan Muslim moderat, tanpa perlu membuat perubahan struktrual apapun dalam segi kebijakan ekonomi, politik dan strategi.

Dengan menganggap problema ekstremisme sebagai murni diciptakan oleh Islamis jahat, tulis Syuhud, maka dokumen ini hanya terfokus pada isu ekstremisme atas nama Islam sementara tak satupun menyebut ekstremisme lain yang tidak kecil yang dilakukan oleh fundamentalis Yahudi dan Kristen. Laporan ini juga tidak menyebut sama sekali dukungan Amerika atas Islamis radikal pada masa lalu (seperti di Afghanistan untuk melawan Soviet) atau atas kelompok Muslim konservatif dalam upaya mengalahkan pengaruh kalangan kiri, nasionalis dan anti-imperialis. [Ainuddin]



Sumber : http://www.hidayatullah.or.id

Selengkapnya »»